The-Max

Mutih Blog's Wetan

Desa Sentra Pembibitan Dai di Demak (1)

Desa Mutih Wetan dan Desa Mutih Kulon, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak boleh dibilang sebagai sentra dai. Dari kedua desa tersebut mengalir puluhan dan bahkan ratusan dai ke berbagai daerah. Mereka tak hanya menjadi dai lokal di desa-desa Demak dan sekitar, tapi juga merambah hingga ke Semarang, Yogyakarta, dan bahkan Jakarta. Wartawan Suara Merdeka Achiar M Permana menuliskan hasil penelusurannya.

KEMARAU yang berkepanjangan terasa benar di Mutih. Sejauh mata memandang, yang terlihat adalah hamparan persawahan yang menyisakan rengkah. Pangkal batang padi sisa panen yang masih terpacak di sawah-sawah itu menerakan warna cokelat yang kering. Begitu pula, sungai di kanan kiri jalan yang lebih terlihat seperti jalanan. Kerontang.


Dari pusat kota Demak, Desa Mutih Wetan dan Desa Mutih Kulon berjarak sekitar 30 km. Kedua desa itu berbatasan langsung dengan Kecamatan Welahan, Jepara. Kendati terletak di tepi Sungai Serang, kekeringan cukup memberi warna nyata pada kedua desa tersebut.

Di desa itulah, dai dan para ustad dilahirkan dan dibesarkan. Sudah menjadi semacam identitas sejak lama, Desa Mutih adalah desa santri, desa kiai. Dari Wedung mereka melanglang ke pelbagai daerah, menyebarkan syiar dengan cara masing-masing.

Niamul Huda, Sekretaris Desa Mutih Kulon menuturkan, pada awalnya tidak semua yang keluar daerah menyengaja untuk menjadi mubalig atau dai. Mereka datang ke tempat baru dengan niatan mencari penghidupan. Warga Mutih umumnya berangkat merantau setelah rendengan, serampung musim tanam padi. Bagian terbesar adalah menjadi pedagang buah, sebuah pekerjaan lazim bagi warga Mutih selain menjadi petani. Selain itu, ada pula yang bekerja sebagai buruh bangunan, tukang ojek, tukang becak, dan sebagainya.

Kalau kemudian mereka terpanggil untuk menjadi dai, hal itu karena bekal ilmu agama yang relatif memadai. Galibnya penduduk Mutih, mereka pernah menempuh hidup di pesantren beberapa tahun. Selepas dari madrasah tsanawiyah (MTs), biasanya mereka berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lain. Rasanya tak cukup dihitung dengan jari jumlah warga Mutih yang pernah nyantri di Pesantren Termas Pacitan, Lirboyo Kediri, Almunawir Krapyak, Tebuireng Jombang, dan pesantren-pesantren besar lain.

Paling kurang, mereka bisa membaca dan menulis Alquran dengan baik. Dan, hal itu merupakan modal minimal untuk menjadi ustad. ''Ibaratnya, bila sudah tahu alif ba bengkong kemiri kopong alias sudah bisa mengaji maka jadilah ustad. Dari mengajar mengaji di sekitar tempat tinggal, mereka kemudian dipanggil untuk memberikan mauidhah hasanah di pelbagai tempat. dan, jadilah merek mubalig atau dai,'' ujar Huda yang sejak dua tahun lalu menjadi Pejabat Sementara (Pjs) Kepala Desa Mutih Kulon.

Dia mencontohkan, pengalaman empiriknya saat kuliah menegaskan tentang diperhitungkannya alif ba bengkong orang Mutih. Saat kuliah di IKIP Semarang (kini Unnes) pada akhir dekade 1980-an, dia dipercaya untuk menjadi pengurus masjid di kawasan Petompon, tak jauh dari kampusnya. Hal itu, tutur Huda, tak lain karena dia orang Mutih yang dipandang bisa mengaji. Kebetulan, dia memang mutakharij (alumnus) Pesantren Darut Tauhid Alalawiyah Assanusiyah asuhan KH Abdullah Manshur Sanusi di desa tersebut.

Dai Lokal

Pernyataan bernada sama juga disampaikan oleh Kepala Desa Mutih Wetan Asmuni HM yang ditemui pada kesempatan terpisah. Dia menyebutkan, tak kurang dari 100 dai asal desanya yang kini berdakwah di pelbagai kota. Ada yang menjadi pendakwah di Semarang, Yogyakarta, atau Jakarta.

''Akan tetapi, sebagian besar ya dai pada tingkat lokal. Artinya, mereka dipandang sebagai ustad di lingkungan tempat tinggalnya. Jangan terus dibayangkan, semua menjadi mubalig yang sudah kondang yang dipanggil ke mana-mana,'' papar Asmuni.

Sebelum disibukkan oleh pelbagai urusan sebagai kepala desa, Asmuni juga memiliki rekam jejak sebagai pendakwah. Alumnus Pesantren Futuhiyah Mranggen dan Termas Pacitan tersebut mengaku baru menjadi dai kelas lokal. ''Paling jauh, ya cuma sampai Solo atau Yogyakarta,'' ujar dia.

Di luar mereka yang ''tak sengaja'' menjadi dai, ada pula yang memang semula memang ingin menjadi pendakwah. Dia menyebut nama KH Ali Murtadlo (almarhum) yang sering memberikan ceramah hingga ke luar daerah. Kiai Murtadlo adalah adik kandung KH Manshur. Sepeninggal Kiai Murtadlo, agaknya sinar dai dari Mutih agak meredup.

Kalaulah hendak disebut, sekarang masih ada Imam Dakhwan. Karena pekerjaannya sebagai dosen Universitas Ibnu Khaldun Jakarta, dia kini menetap di Ibu Kota. Pada Lebaran kemarin, seperti para dai asal Mutih lainnya, dia mudik ke desa tersebut. Jumat (19/11) lalu, Dakhwan kembali ke Jakarta. ''Maaf, tidak bisa berlama-lama di desa. Sebab, ditunggu jamaah di tempat lain,'' ujar Dakhwan seperti ditirukan Asmuni.

Selain dia, ada pula Solikhul Falah yang anggota Dewan atau KH Manshur, pengasuh Pesantren Darut Tauhid Mutih Kulon. Dia juga mengasuh MI, MTs, dan MA Ianatut Tulab serta memimpin tarekat Naqsabandiyah. Selain itu, Kiai Manshur juga kerap diundang untuk memberikan ceramah di pelbagai tempat.(Achiar M Permana-Suara Merdeka)
Selengkapnya...

Desa Sentra Pembibitan Dai di Demak (2)

MENGAPA dua desa di Mutih, Kecamatan Wedung, Demak dikenal sebagai desa santri dan ulama? Sekretaris Desa Mutih Kulon Naimul Huda menduga, banyaknya warga Mutih yang menjadi dai di luar daerah, tak lepas dari berkah Syekh Maulana Abdurrahman Albar.

Siapakah dia? Syekh dari Hadramaut Yaman itu dipercaya sebagai cikal bakal Desa Mutih. Sebuah kuburan tua yang terdapat di tengah persawahan desa tersebut dipercaya sebagai makam syekh tersebut. Makam itu dikenal penduduk setempat sebagai Burwatu (kubur watu). Dari kisah Syekh Maulana pulalah nama Mutih didapatkan.

KH Abdullah Manshur Sanusi, pengasuh Pesantren Darut Tauhid Alalawiyah Assanusiyah menceritakan, sang syekh hidup sezaman dengan Ratu Kalinyamat yang memerintah Jepara, sekitar abad ke-16. Diceritakan, Kalinyamat yang oleh penulis Portugis Diego de Conto disebut sebagai "Rainha de Jepara senhora pederose e rica" yakni Ratu Jepara seorang wanita yang sangat berkuasa itu memiliki hobi berburu di hutan. Suatu ketika, syekh menemukan kijang milik Ratu Kalinyamat. Karenanya, sang ratu hendak memberikan hadiah kepada syekh. Ia pun mengutus para punggawanya untuk mendatangi syekh."Tuwasana! (Berilah hadiah!)," sabda Ratu Kalinyamat, seperti disampaikan Kiai Manshur.

Rupanya, kata Kiai Manshur, pemimpin prajurit itu agak suda pangrungon. Ia salah mendengar dan menafsirkan perintah. Sependengarannya, ratu memerintahkan "Tewasana! (Bunuhlah!)." Maka, ia pun berangkat ke Demak dengan niat menghabisi Syekh Maulana. Misi sukses dilaksanakan, dan syekh pun tewas di tangan prajurit itu. Tapi, apa yang terjadi? Atas kehendak Allah, konon, darah yang mengalir dari diri syekh tidak berwarna merah seperti lazimnya, melainkan berwarna putih. Dari kisah itu muncullah nama Desa Mutih, yang dalam perkembangannya menjadi Mutih Wetan dan Mutih Kulon.

Makanya setiap habis panen, penduduk desa menggelar haul cikal bakal desa tersebut. Ali, putra KH Mansyur menceritakan, saat haul persawahan tersebut akan dipenuhi oleh ribuan peziarah. Pada umumnya, mereka berdatangan dari desa-desa sekitar Mutih Kulon. Namun, tak sedikit yang datang dari luar Demak, dan bahkan luar Jawa Tengah.

"Biasanya, para dai asal Mutih Kulon yang berdomisili di Jakarta akan pulang. Mereka mengajak serta habaib (keturunan Nabi Muhammad Saw-red) dari ibukota untuk menziarahi makam Syekh Maulana," tutur dia.

Ilmu Agama

Cukupkah berkah yang konon diperoleh dari sang Syekh? Tentu saja tak cukup. Kesadaran warga Mutih untuk membekali diri dengan ilmu-ilmu agama yang memadai juga sangat tinggi.

"Bekal minimal yang mesti dimiliki oleh calon dai adalah pengetahuan dasar tentang agama, mulai dari aqidah akhlaq, fikih, Alquran dan Alhadis, tafsir, nahwu dan sharaf, hingga tasawuf. Pengetahuan yang diperoleh di pesantren, biasanya memberikan jawaban untuk itu," jelas Manshur.

Berkah yang diperoleh warga Mutih ternyata tak cuma menjadi dai. Banyak pula warga Mutih yang menekuni profesi sebagai tabib.

"Umumnya, mereka memadukan pengobatan tradisional dengan ajaran yang didapatkan dari kitab kuning (kitab klasik yang banyak dipelajari di pesantren-red). Kalau menurut istilah sekarang, kerap disebut terapi ilahiyah."

Seperti juga dai, para tabib asal Mutih itu berkiprah di banyak tempat, di kota-kota besar di Indonesia. Huda mencontohkan Tabib Dain dan Tabib Aulia yang membuka praktik di Yogyakarta. Bahkan kabarnya, tabib asal Mutih memiliki nama cukup populer dan dipercaya mujarab. Sampai-sampai Naimul Huda dengan sangat yakin mengatakan, "Kalau Sampeyan bertemu tabib terkenal yang mengaku berasal dari Demak, coba tanya saja. Biasanya dari Mutih."(Achiar M Perman-Suara Merdeka)
Selengkapnya...

Dibalik Aksi Warga Desa Mutih Wetan

Adanya isu yang menyebutkan tentang persoalan politik menjelang pilkada di balik aksi warga Desa Mutih Wetan, Kecamatan Wedung yang menuntut mundur kepala desa setempat, Asmuni, mendapat sorotan pendukung pasangan Sutetyo-Khaeron.

Noor Khumyanah, Koordinator Komando Masyarakat Demak yang bersimpatik pada pasangan cabup Sutetyo-Khaeron menilai isu tersebut mengada-ada dan hanya untuk membelokkan persoalan yang semestinya terjadi di desa itu.

Menurut dia, pendukung Sutetyo-Khaeron tidak pernah berpikir untuk melakukan protes terhadap simpatisan cabup lain yang membagi-bagikan stiker. ''Jadi sangat tidak masuk akal kalau ada yang mengatakan, pedukung pasangan Sutetyo-Khaeron emosi gara-gara persaingan stiker,'' ujarnya didampingi Khaeron, Cawabup yang diusung gabungan Partai Golkar-Demokrat, di poskonya.

Seperti diberitakan sebelumnya, terjadinya aksi massa yang merusak rumah Kades Mutih Wetan, Asmuni, dan rumah Ketua BPD Mujtahid, Jumat (6/1), karena Asmuni diduga melakukan korupsi.

Sementara informasi lain yang berkembang di tengah masyarakat, ada kepentingan politik menjelang pilkada, antara dua pendukung calon bupati yang berbeda. Yakni pendukung pasangan Endang Setyaningdyah-Nurul Huda dengan Sutetyo-Khaeron.

Kepala desa dan ketua BPD dipandang mendukung pencalonan kembali Bupati Hj Endang Setyaningdyah. Kemungkinan latar belakang tersebut dibenarkan Mujtahid.

Khaeron menambahkan, dirinya yang juga Sekretaris Paguyuban Kepala Desa dan Perangkat Kecamatan Wedung mengatakan, pihaknya pernah membahas persoalan yang terjadi di Mutih Wetan. Pertemuan itu juga dihadiri Asmuni.

''Yang jelas di situ ada penjelasan Asmuni tentang penggunaan anggaran yang dituduh warganya sebagai tindakan korupsi. Kami hanya bisa menyarankan agar dia secepatnya menyelesaikan persoalan itu.''

Namun, ternyata masalahnya tidak kunjung usai, sehingga warga melanjutkan ke DPRD dan Pemkab. ''Kalau melihat gambaran itu, reaksi warga yang sudah berlangsung dua tahun lalu, jelas tidak terkait dengan persoalan politik. Apalagi koordinator Gerakan Pemuda dan Masyarakat Bersatu (GPMB), Qusayin telah membantahnya dengan mengatakan, tidak ada muatan politis dibalik tuntutan mundur kepala desa oleh warga.'' (Suara Merdeka)
Selengkapnya...

Rumah Kades Mutih Wetan Di Rusak Massa

Ratusan warga Desa Mutih Wetan Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak merusak rumah milik kepala desanya, Asmuni dan Ketua Badan Perwakilan Desa, Mujtahid. Mereka mendesak Asmuni turun dari jabatannya lantaran diduga korupsi. Karena desakannya tak dipenuhi, massa emosi.

Perusakan itu terjadi Jumat (6/1) sekitar pukul 17.30. Semula warga meminta Asmuni hadir di kantor kelurahan untuk dimintai pertanggung jawaban. Namun yang bersangkutan tidak datang. Hal itu menyulut kemarahan warga. Massa yang mengatasnamakan Gerakan Pemuda dan Masyarakat Bersatu (GPMB) itu kemudian menyegel kantor kelurahan dengan cara menutup pintu masuk dengan sejumlah kayu. Beberapa menit kemudian petugas dari Kepolisian Resor Demak tiba di lokasi.

Perhatian warga beralih ke rumah kepala desa. Tidak berapa lama, beberapa warga yang berada di samping rumah itu melempar barang-barang keras. Karuan genting dan kaca jendela rumah tersebut pecah. Saat kejadian, Asmuni bersama keluarganya sudah mengungsi di tempat saudaranya.

Petugas yang mengetahui hal itu langsung menghalau massa agar tidak bertindak anarkis. Setelah petugas memberikan tembakan peringatakan ke udara, massa berangsur bubar.

Ternyata mereka beralih ke rumah Ketua BPD Mujtahid yang lokasinya hanya berjarak 500 meter dari rumah kepala desa. Massa bertindak begitu cepat merusak rumah tersebut dengan memecah kaca jendela, kaca pentilasi dan melempari bari ke arah genting. Rumah itupun sudah ditinggalkan penghuninya dengan bersembunyi di rumah tetangganya. Massa yang tampat brutal itu lari kalang kabut ketika puluhan personel polisi datang.

Sebelum terjadi pengrusakan, beberapa warga menyita sepeda motor dinas kepala desa dan ketua BPD berupa Honda Legenda disita warga. Saudara dekat Asmuni, Sarno (43) menuturkan kemarahan warga memuncak setelah tuntutan mereka tidak direspons Asmuni. Kepala desa yang akan habis masa jabatannya tahun 2007 itu keberatan meletakan jabatan jika tidak sesuai mekanisme yang berlaku. Apalagi, dugaan yang dituduhkan kepadanya sedang dalam proses pemeriksaan Bawasda.

Pada Rabu (4/1) tim dari Bawasda telah melakukan pemeriksaan terhadap persoalan yang diadukan warga. ''Pemeriksaan itu justru dinilai warga sebagai pembenaran bahwa telah terjadi penyimpangan anggaran. Padahal belum ada hasil apapun, semua baru dugaan,'' terang Sarno yang menunggu rumah Asmuni.

Mujtahid menjelaskan, kemarahan warga terhadap dirinya karena dinilai sebagai orang yang terlibat dalam persengkokolan melakukan korupsi. Padahal, tuduhan itu tidak benar. Sebagai ketua BPD, dirinya mengaku tahu persis setiap kebijakan yang diambil kepala desa. ''Semua keputusan yang menyangkut desa, Asmuni selalu menggelar rapat desa yang melibatkan tokoh masyarakat dan perangkat. Jadi keputusanya adalah kebijakan desa.''

Sementara Siti Khatijah (40) isteri Mujtahid menyela dengan mengatakan tidak habis pikir orang-orang yang selama ini dikenalnya begitu beringas merusak rumahnya. Dia pun hanya bisa menangis sambil memeluk anak-anaknya yang bersembunyi di rumah tetangganya. Massa yang berteriak dengan menyebut nama tuhan merusak rumahnya dengan batu, bata dan batang kayu.

Stiker calon bupati

Sementara informasi lain yang berkembang di tengah masyarakat, ketegangan terjadi karena kepentingan politik menjelang pilkada, antara dua pendukung calon bupati yang berbeda. Yakni pendukung pasangan Endang Setyaningdyah-Nurul Huda dengan Sutetyo-Khaeron.

Kepala desa dipandang mendukung pencalonan kembali Bupati Hj Endang Setyaningdyah. Apalagi Mujtahid termasuk orang yang paling giat menyebar dan memasang stiker bergambar Endang-Nurul Huda di rumah-rumah warga.

Terhadap isu itu, Mujtahid mengatakan bisa saja benar. Dirinya yang juga ketua PAC PDI-P Wedung memiliki tanggungjawab untuk mensukseskan calon yang diusung partainya. ''Mungkin langkah saya tersebut membuat mereka panas, sehingga memicu ketegangan. Itu memang konsekwensi bagi aktivis parpol. Tetapi semestinya tidak seperti itu, kalau mereka membagi stiker pasangan cabup kepada warga, saya pun tidak akan ikut campur.''

Dihubungi secara terpisah Koordinator Gerakan Pemuda dan Masyarakat Bersatu (GPMB), Qusayin mengatakan, tidak ada muatan politis dibalik tuntutan mundur kepala desa oleh warga. ''Warga menilai kepala desa korup, sehingga pantas mundur,'' katanya.

Terkait tindak anarkis massa, dia mengaku sudah berusaha menghalang-halangi warga agar tidak bertindak anarkis. Tetapi mereka nekat melakukan hal tersebut. Hingga Sabtu (7/1) sore, kedua rumah milik perangkat desa tersebut masih dijaga aparat Polres Demak. Tampak di antaranya Kepala Kepolisian Sektor Wedung AKP Suyuti SH.
( Hasan Hamid-Suara Merdeka)
Selengkapnya...

Kisah Seorang Pendeta

Ada seorang pendeta yang sangat arif dan berpengaruh di Bagdad yang memiliki bayak pengikut. Pendeta ini memiliki banyak ilmu pengetahuan bukan hanya tradisi keilmuan Yahudi, Kristen, tetapi juga ilmu keislaman, dia mengetahui banyak tentang islam dan al-Qur’an dan sangat mencintai dan menghormati Nabi Muhammad SAW. Khalifah menghormati pendeta itu dan berharap ia dan pengikutnya pada suatu saat nanti bisa menjadi Muslim. Memang, dia siap menerima agama ini (Islam), kecuali satu hal. Satu hal yang mencegahnya, untuk menerima atau memahami, adalah tentang mi’raj-nya Nabi Muhammad kelangit dalam hidupnya.

Mi’raj itu terjadi pada malam hari, Nabi Muhammad SAW berangkat badan dan jiwanya dari madinah ke Yerusalem dan dari sana dilanjutkan ke tujuh langit, dimana dia menyaksikan banyak peristiwa. Dia melihat Surga dan Neraka, dan naik terus hinnga bertemu Tuhan, yang menyampaikan sembilan puluh ribu kata dengan Muhammad. Nabi kembali sebelum tempat tidurnya berubah jadi dingin, dan sebelum daun yang telah disentuhnya dalam perjalanan berhenti bergetar.

Akal sang pendeta itu tak dpt menerima mi’raj-nya Nabi Muhammad SAW yang dikisahkan itu. Memang, ketika Nabi sendiri mengumumkan isra’-mi’raj- sehari setelah kejadian, banyak umat Islam yang tidak percaya dan meninggalkan agama mereka. Ini kemudian menjadi ujian bagi iman yang sejati, karena akal tak dapat memahami peristiwa semacam ini.

Khalifah memperkenalkan semua orang bijak dan ulama yang ada waktu itu kepada sang pendeta untuk menghilangkan keraguannya, tetapi tak satu pun yang berhasil. Kemudian di suatu malam khalifah mengirim surat ke Hadrat Syekh Abd al-Qodir Jailani, memintanya agar dia dapat meyakinkan pendeta itu tentang kebenaran peristiwa isra’ dan mi’raj

Ketika Syekh Abdul al-Qodir Jailani datang ke istana, dia mendapati sang khalifah dan pendeta tengah bermain catur ketika sang pendeta mengangkat bidak catur untuk memindahkannya, pandangannya menatap mata Syekh. Dia mengedipkan matanya… dan saat membuka matanya kembali dia tiba-tiba menemukan dirinya sendiri sedang terendam air sungai yang mengalir deras! Dia berteriak minta tolong ketika seorang penggembala muda meloncat ke air untuk menolongnya. ketika penggembala itu memeganginya, dia tersadar kalau dia telanjang dan berubah menjadi gadis belia!

Penggembala itu menariknya keluar dari air dan menanyakannya anak gadis itu siapa dan tinggal di mana. Ketika pendeta itu menyebut Bagdad, penggembala itu mengatakan bahwa mereka kini berada dan jaraknya beberapa bulan perjalanan dari kota ini. Penggembala itu menghormati perempuan itu dan menjaga serta melindunginya, tetapi akhirnya setelah perempuan itu tadak tahu kemana harus pergi, penggembala itu menikahinya. Mereka memiliki tiga anak, yang sedang beranjak dewasa.

Suatu hari setelah mencuci pakaian di sungai yang sama dimana dia pernah berjumpa beberapa tahun yang lalu, perempuan itu tergelincir dan jatuh ke sungai. Setelah membuka matanya… tiba-tiba dia sedang duduk di sebelah khalifah, sedang memegang anak-anak catur dan masih menatap mata Hadrat Syekh Abd al-Qodir Jailani, yang bertanya kepadanya, ‘Sekarang, tuan pendeta, apakah tuan masih tidak percaya?’

Sang pendeta tak yakin tentang apa yang telah terjadi padanya dan berfikir apakah semua ini mimpi, di jawab dengan kata-kata, “Apa artinya ini?” Mungkin tuan ingin melihat keluarga tuan?’ Sang wali mencari tahu. Setelah membuka pintu, disana berdiri penggembala dan tiga anakanya. Melihat hal ini, sang pendeta menjadi percaya. Dia dan pengikutnya berpindah menjadi Muslim atas peran Syekh Abd al-Qodir Jailani.
Selengkapnya...

Bersikap Amanah Dalam Memegang Janji

Syekh Abdul al-Qodir Jailani bercerita: “Suatu hari, di awal id al-Adha, aku pergi ketanah ladangku untuk membantu hingga aku turun ke ladang. Karena aku berjalan di belakang kawanan sapi, sapi-sapi itu menolehkan kepalanya kearahku dan berkata, ‘Engkau tidak diciptakan untuk (melakukan pekerjaan ) seperti ini!’ Aku sangat takut dan lari kerumah serta naik keatas genteng rumahku. Saat aku menerawang lepas aku menyaksikan para jamaah haji tengah bekumpul di padang Arafah, Saudi Arabia, tepat di depanku.
Aku mencari ibuku, seorang ibu yang kemudian menjanda, dan memohon kepadanya, ‘kirimkan aku untuk mencari jalan kebenaran (Allah), berilah aku izin utk berangkat ke Bagdad untuk mencari ilmu, bersekutu dengan orang-orang bijak dan orang-orang yang sangat dekat dengan Allah, ‘Ibuku menayakanku alasan apa yang membuatku tergesa-gesa mengambil keinginan ini. Aku menceritakan kepadanya tentang apa yang telah terjadi padaku. Dia menangis, lalu mengeluarkan delapan puluh keping emas, yg merupakan harta peninggalan ayahku sebagai warisan. Ibuku menyisihkan empat puluh keping untuk saudaraku. Empat puluh keping lainnya dia masukkan kedalam mantelku. Kemudian mengizinkan aku untuk segera berangkat, tetapi sebelumnya dia memintaku untuk teguh berjanji agar aku tetap bersikap jujur dan berada dalam kebenaran, dlm kondisi bagaimana pun.ibuku lalu mengucapkan kata-kata: “Mudah-mudahan Allah melindungi dan memberi petunjuk kepadamu, anakku. Aku rela berpisah dgn anakku yang paling aku sayangi demi (ridha) Allah. Aku tahu bahwa aku tidak akan melihatmu samapi hari pengadilan tiba.”
Aku pergi bersama rombongan kecil (kalifah) menuju Bagdad. Setelah kami meninggalkan kota Hamadan, gerombolan penjahat bersenjata,enam puluh penunggang kuda yang kuat-kuat, menyerang kami. Mereka merampas apa saja yang kami punya, salah seorang di antara mereka mendekatiku dan bertanya, ‘Anak muda, apa yang kamu punya?’ Aku katakan padanya bahwa aku punya empat puluh keping emas. Dia bertanya, “Dimana?” “Di bawah ketiak bajuku”, jawabku. Dia tertawa lalu meninggalkanku sendiarian. Penjahat yang lain juga mendekatiku dan menanyakan hal yang sama, dan aku pun menjawab dengan sebenarnya. Penjahat itu juga meninggalkanku. Mereka pasti menceritakan kejadian ini pada pemimpin mereka, karena mereka memanggilku untuk duduk di tempat pembagian hasil rampokan. Lalu dia bertanya padaku apakah aku memiliki barang-barang berharga. Aku katakan padanya bahwa aku mempunyai empat puluh kepingan kecil emas yang dijahit di bawah ketiak bajuku. Dia melepaskan jaketku, menyobek lengannya, dan menemukan emas itu. Kemudian dengan terkejut bertanya kepadaku, ‘kapan kamu menyimpan uangmu, apa yang mendorong kamu tetap bersikukuh mengatakan bahwa kamu mempunyai uang dan dimana ia disembunyikan? Aku menjawab, ‘Aku harus berkata jujur dalam kondisi apapun, seperti yang telah kujanjikan kepada ibuku’. Ketika pemimpin para perampok itu mendengar jawabanku ini ia mengucurkan air mata dan berkata, ‘Aku telah mengingkari janjiku pada tuhan yang telah menciptakan aku. Aku biasa mencuri dan membunuh. Nasib buruk apa yang bakal terjadi padaku?’ dan anak buah penjahat yang lain, sambil memperhatikannya, berkata, ‘engkau telah menjadi pemimpin kami selama bertahun-tahun dlm perbuatan dosa. Sekarang engkau juga menjadi pemimpin kami dalam penyesalan (pertobatan)!’ Enam puluh perampok tersebut memegang tanganku dan menyatakan penyesalan serta mengubah jalan hidup mereka. Enam puluh penjahat tersebut merupakan kelompok pertama yang memegang tanganku dan meminta maaf atas kesalahan-kesalahan mereka.
Selengkapnya...

Persetan Football Club Mutih Wetan































Selengkapnya...