Desa Sentra Pembibitan Dai di Demak (1)
Desa Mutih Wetan dan Desa Mutih Kulon, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak boleh dibilang sebagai sentra dai. Dari kedua desa tersebut mengalir puluhan dan bahkan ratusan dai ke berbagai daerah. Mereka tak hanya menjadi dai lokal di desa-desa Demak dan sekitar, tapi juga merambah hingga ke Semarang, Yogyakarta, dan bahkan Jakarta. Wartawan Suara Merdeka Achiar M Permana menuliskan hasil penelusurannya.
KEMARAU yang berkepanjangan terasa benar di Mutih. Sejauh mata memandang, yang terlihat adalah hamparan persawahan yang menyisakan rengkah. Pangkal batang padi sisa panen yang masih terpacak di sawah-sawah itu menerakan warna cokelat yang kering. Begitu pula, sungai di kanan kiri jalan yang lebih terlihat seperti jalanan. Kerontang.
KEMARAU yang berkepanjangan terasa benar di Mutih. Sejauh mata memandang, yang terlihat adalah hamparan persawahan yang menyisakan rengkah. Pangkal batang padi sisa panen yang masih terpacak di sawah-sawah itu menerakan warna cokelat yang kering. Begitu pula, sungai di kanan kiri jalan yang lebih terlihat seperti jalanan. Kerontang.
Dari pusat kota Demak, Desa Mutih Wetan dan Desa Mutih Kulon berjarak sekitar 30 km. Kedua desa itu berbatasan langsung dengan Kecamatan Welahan, Jepara. Kendati terletak di tepi Sungai Serang, kekeringan cukup memberi warna nyata pada kedua desa tersebut.
Di desa itulah, dai dan para ustad dilahirkan dan dibesarkan. Sudah menjadi semacam identitas sejak lama, Desa Mutih adalah desa santri, desa kiai. Dari Wedung mereka melanglang ke pelbagai daerah, menyebarkan syiar dengan cara masing-masing.
Niamul Huda, Sekretaris Desa Mutih Kulon menuturkan, pada awalnya tidak semua yang keluar daerah menyengaja untuk menjadi mubalig atau dai. Mereka datang ke tempat baru dengan niatan mencari penghidupan. Warga Mutih umumnya berangkat merantau setelah rendengan, serampung musim tanam padi. Bagian terbesar adalah menjadi pedagang buah, sebuah pekerjaan lazim bagi warga Mutih selain menjadi petani. Selain itu, ada pula yang bekerja sebagai buruh bangunan, tukang ojek, tukang becak, dan sebagainya.
Kalau kemudian mereka terpanggil untuk menjadi dai, hal itu karena bekal ilmu agama yang relatif memadai. Galibnya penduduk Mutih, mereka pernah menempuh hidup di pesantren beberapa tahun. Selepas dari madrasah tsanawiyah (MTs), biasanya mereka berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lain. Rasanya tak cukup dihitung dengan jari jumlah warga Mutih yang pernah nyantri di Pesantren Termas Pacitan, Lirboyo Kediri, Almunawir Krapyak, Tebuireng Jombang, dan pesantren-pesantren besar lain.
Paling kurang, mereka bisa membaca dan menulis Alquran dengan baik. Dan, hal itu merupakan modal minimal untuk menjadi ustad. ''Ibaratnya, bila sudah tahu alif ba bengkong kemiri kopong alias sudah bisa mengaji maka jadilah ustad. Dari mengajar mengaji di sekitar tempat tinggal, mereka kemudian dipanggil untuk memberikan mauidhah hasanah di pelbagai tempat. dan, jadilah merek mubalig atau dai,'' ujar Huda yang sejak dua tahun lalu menjadi Pejabat Sementara (Pjs) Kepala Desa Mutih Kulon.
Dia mencontohkan, pengalaman empiriknya saat kuliah menegaskan tentang diperhitungkannya alif ba bengkong orang Mutih. Saat kuliah di IKIP Semarang (kini Unnes) pada akhir dekade 1980-an, dia dipercaya untuk menjadi pengurus masjid di kawasan Petompon, tak jauh dari kampusnya. Hal itu, tutur Huda, tak lain karena dia orang Mutih yang dipandang bisa mengaji. Kebetulan, dia memang mutakharij (alumnus) Pesantren Darut Tauhid Alalawiyah Assanusiyah asuhan KH Abdullah Manshur Sanusi di desa tersebut.
Dai Lokal
Pernyataan bernada sama juga disampaikan oleh Kepala Desa Mutih Wetan Asmuni HM yang ditemui pada kesempatan terpisah. Dia menyebutkan, tak kurang dari 100 dai asal desanya yang kini berdakwah di pelbagai kota. Ada yang menjadi pendakwah di Semarang, Yogyakarta, atau Jakarta.
''Akan tetapi, sebagian besar ya dai pada tingkat lokal. Artinya, mereka dipandang sebagai ustad di lingkungan tempat tinggalnya. Jangan terus dibayangkan, semua menjadi mubalig yang sudah kondang yang dipanggil ke mana-mana,'' papar Asmuni.
Sebelum disibukkan oleh pelbagai urusan sebagai kepala desa, Asmuni juga memiliki rekam jejak sebagai pendakwah. Alumnus Pesantren Futuhiyah Mranggen dan Termas Pacitan tersebut mengaku baru menjadi dai kelas lokal. ''Paling jauh, ya cuma sampai Solo atau Yogyakarta,'' ujar dia.
Di luar mereka yang ''tak sengaja'' menjadi dai, ada pula yang memang semula memang ingin menjadi pendakwah. Dia menyebut nama KH Ali Murtadlo (almarhum) yang sering memberikan ceramah hingga ke luar daerah. Kiai Murtadlo adalah adik kandung KH Manshur. Sepeninggal Kiai Murtadlo, agaknya sinar dai dari Mutih agak meredup.
Kalaulah hendak disebut, sekarang masih ada Imam Dakhwan. Karena pekerjaannya sebagai dosen Universitas Ibnu Khaldun Jakarta, dia kini menetap di Ibu Kota. Pada Lebaran kemarin, seperti para dai asal Mutih lainnya, dia mudik ke desa tersebut. Jumat (19/11) lalu, Dakhwan kembali ke Jakarta. ''Maaf, tidak bisa berlama-lama di desa. Sebab, ditunggu jamaah di tempat lain,'' ujar Dakhwan seperti ditirukan Asmuni.
Selain dia, ada pula Solikhul Falah yang anggota Dewan atau KH Manshur, pengasuh Pesantren Darut Tauhid Mutih Kulon. Dia juga mengasuh MI, MTs, dan MA Ianatut Tulab serta memimpin tarekat Naqsabandiyah. Selain itu, Kiai Manshur juga kerap diundang untuk memberikan ceramah di pelbagai tempat.(Achiar M Permana-Suara Merdeka)